Oleh : Sharique Naeem
Dalam percaturan politik internasional saat ini, Amerika terus
menunjukkan dirinya sebagai kekuatan global tunggal yang tak
tertandingi. Meskipun negeri itu sedang mengalami kesulitan dan
ekonominya memburuk, dan menderita kemunduran dalam perang yang panjang
di Irak dan Afghanistan, namun tetap mengklaim dirinya sebagai negara
adidaya. Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika telah membuka front
perang baru. Mulai dari meningkatkan pertempuran di Somalia, penyerangan
dengan pesawat tanpa awak di Yaman dan Pakistan, dan penyerangan
terhadap Libya, Amerika telah bertindak sendirian, maupun dengan para
sekutu NATO-nya. Dunia Muslim dilanda serangan badai negeri-negeri
imperialis. Meskipun memiliki sumber daya yang sangat besar, Dunia
Muslim telah menyaksikan gejolak di negerinya sendiri, sebagai akibat
dari para penguasanya yang menjadi kacung Amerika dan memberikan apa
saja yang dituntut Amerika. Ini adalah realitas suram negeri-negeri
muslim dalam menghadapi Amerika saat ini.
Adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa secara historis umat
Islam pernah menjadi kekuatan utama dunia selama berabad-abad, di bawah
naungan Khilafah. Banyak yang telah ditulis dan diketahui tentang zaman
umat Islam yang gemilang di bawah naungan Khilafah. Pusat-pusat
pembelajaran yang didirikan di Baghdad, Kairo, Maroko dan negara-negara
lain dikenal dalam sejarah. Perkembangan ilmiah yang luar biasa telah
dicapai umat Islam pada zamannya dalam masa yang panjang. Namun sedikit
yang menjadi perhatian jika berkaitan dengan sebuah negara adidaya pada
masa lalu, yakni Khilafah jika dibandingkan dengan kekuatan superpower
pada masa kini, yakni Amerika.
Akar sejarah Amerika dan hubungannya dengan dunia luar biasanya
mengacu ke zaman Christopher Columbus, yang dianggap berjasa dalam
memimpin penemuan benua Amerika. Namun, berbagai penelitian telah
menunjukkan bahwa sekitar tujuh abad sebelum kunjungan Columbus, para
penjelajah Muslim dari negeri Khilafah telah mendarat di Amerika, dan
mulai memiliki nenek moyangnya di negeri itu.
Berbagai penggalian arkeologi, termasuk penemuan koin-koin, banyak
peralatan dan perkakas telah menunjukkan keberadaan kaum Muslim di
Amerika. Juga, analisis linguistik dan filologis bahasa dan penggunaan
nama-nama permukiman di Amerika menunjukkan kemiripan dengan yang
digunakan oleh umat Islam pada zaman Kekhalifahan Abbasiyah.
Penemuan-penemuan dari penelitian Profesor Barry Fell (dari Harvard
University, anggota Society of Scientific & Archeological
Discoveries) telah menyoroti kenyataan bahwa umat Islam tiba di benua
itu pada zaman Utsman, Khalifah ketiga. Profesor Fells menyajikan
sejumlah fakta untuk mendukung jejak sejarah ini. Penemuan-penemuan itu
termasuk penggalian arkeologi di Colorado, New Mexico dan Indian bersama
dengan tulisan-tulisan, gambar-gambar pada batu-batu dalam kaligrafi
Kufic (dari Afrika Utara yang berbahasa Arab), yang menunjukkan bahwa
umat Islam tidak hanya datang dari negeri Khilafah dan menetap di
wilayah tersebut, tetapi mereka juga mendirikan lembaga-lembaga
pengajaran yang memberi pelajaran pada mata pelajaran seperti
matematika, geografi, navigasi, sejarah dll. Hal ini juga diketahui,
bahwa Khilafah telah mendorong pembentukan pusat-pusat pembelajaran di
seluruh wilayah negeri itu.
Peta Piri Reis yang terkenal juga diambil sebagai bukti kehadiran
kaum Muslim di Amerika, karena ia merupakan peta kecil Amerika, yang
memuat pengukuran akurat atas jarak antara Afrika dan Amerika. Juga
menurut Salvatore Michael Trento (mantan direktur Pusat Penelitian
arkeologi di Middletown, New York) sebelum melakukan pelayaran
pertamanya ke Amerika, Columbus telah membaca buku Roger Bacon dari
Universitas Oxford, yang memuat kompilasi dari berbagai sumber berbahasa
Arab, tentang wilayah geografis di seberang Atlantik itu.
Pada penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Profesor Heizer dan
Baumhoff California University pada penggalian di Nevada, ditemukan
tulisan-tulisan dalam bahasa Arab dan tulisan bergaya Naskhi Cufic.
Terdapat kesamaan kaligrafi antara berbagai gaya penulisan nama Nabi
(Muhammad) yang ditemukan selama periode yang beragam, khususnya yang
berkaitan dengan Afrika dan Amerika. (Misalnya Gambar A ditemukan di
al-Ain Lahag, Maroko dan Gambar B ditemukan di Timor Sungai Walker;
keduanya saat ini berada di University of California, juga Gambar C
ditemukan di Nevada dan Gambar C dan D ditemukan di Churchill County dan
juga saat ini diawetkan di University of California); Semua prasasti
itu merujuk pada abad kedelapan dan kesembilan, dan semuanya
menggambarkan kemiripan dalam gaya antara Afrika Utara dan Amerika
Utara, dan karenanya menunjukkan bahwa sejumlah besar umat Islam telah
melakukan perjalanan dari Afrika ke Amerika.
Dari sumber-sumber Islam, rincian-rincian seperti itu jarang
ditemukan, dan sebagian besar kesimpulan tersebut di atas telah
didasarkan pada bukti-bukti arkeologi. Beberapa peneliti berpendapat,
bahwa pada abad kedua belas suku Athapcan, yang terdiri dari penduduk
asli Navajo dan Apache, telah menyerbu wilayah yang didiami oleh
orang-orang Arab. Kemudian, para pemukim Muslim itu harus melarikan
diri, atau diasingkan ke arah selatan.
Penemuan lain yang mengejutkan atas kehadiran Muslim di Amerika,
adalah pada tahun 1787, ketika Pendeta Tadeus Mason Harris mendapatkan
beberapa koin yang ditemukan oleh para pekerja selama pembangunan jalan
di Massachusetts. Koin-koin itu dikirim ke perpustakaan Harvard College.
Setelah dilakukan pemeriksaan, diketahui bahwa koin-koin itu sebenarnya
adalah dirham Samarqand dari abad kedelapan dan kesembilan dan prasasti
pada koin-koin itu menyatakan ‘La ilaha ill-Allah MUHAMMADUN
Rasulullah’ (Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
Rasul-Nya) dan Bismillah (Dengan nama Allah). Hal ini menunjukkan bahwa
Khilafah memiliki sistem moneter yang digunakan bahkan di
wilayah-wilayah terjauh dari daerah dimana kaum Muslim bepergian.
Columbus dan para penjelajah Spanyol dan Portugis lainnya, telah
diuntungkan dari pengetahuan berbasis geografis dan navigasi yang
dipersiapkan oleh kaum Muslim. Misalnya karya Al-Masudi
Muruj’uz-Zahab(871-957 CE), yang didasarkan atas kompilasi dari para
pedagang Muslim dari seluruh Asia dan Afrika.
Selain itu, dua kapten kapal Columbus pada pelayaran pertamanya,
dalam kenyataannya, adalah dua orang Muslim: Martin Alonso Pinzon yang
bertanggung jawab atas kapal Pinta, sementara saudaranya Vicente Yanez
Pinzon adalah kapten yang ditunjuk untuk kapal Nina; keduanya berasal
dari Dinasti Maroko Marinid, yang merupakan keturunan dari Sultan Abu
Zayan Muhammad III (r. 1362-1366). Terdapat juga catatan dari para
misionaris abad keenam belas di Amerika yang mengungkapkan bahwa tambang
tembaga lokal di Virginia, Tennessee dan Wisconsin dioperasikan oleh
orang-orang dari Timur Tengah, yang dihormati oleh penduduk asli.
Juga penelitian menunjukkan bahwa sejumlah 565 nama, 484 di Amerika
dan 81 di Kanada, yakni nama-nama kota, desa, gunung, sungai dan danau
dll secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yang ditunjuk oleh para
penduduk setempat jauh sebelum kedatangan Columbus. Banyak dari
nama-nama ini sebenarnya sama dengan nama-nama tempat-tempat suci Islam
misalnya Mecca di Indiana, Medina di Idaho, Medina di New York dll.
Struktur rumah dan gedung yang ditemukan dalam penggalian arkeologi
yang dilakukan di Afrika Utara dan Amerika Utara menunjukkan tingkat
kesamaan antara bangunan-bangunan abad kesembilan. Misalnya struktur
rumah Berber dari Pegunungan Atlas, Maroko adalah persis sama dengan
sebuah rumah di New Mexico. Kesamaan yang persis terlihat antara Kastil
Montezuma yang ditemukan di Arizona dan sisa-sisa reruntuhan yang
ditemukan di Mesa Verde di Colorado dengan struktur umum
bangunan-bangunan Berber.
Profesor Cyrus Thomas (Smithsonian Institute) menunjukkan dalam salah
satu penelitiannya bahwa terdapat kesamaan antara sebuah pondok kecil
yang dibangun dari tumpukan batu yang ditemukan di Ellenville, New York
dengan sebuah kabin, yang juga terbuat dari batu, yang ditemukan di
sekitar Aqabah, Arabia Selatan, yang menunjukkan sekitar abad kedelapan.
Dalam banyak sumber-sumber Islam, meskipun referensi mengenai Amerika
hampir tidak didokumentasikan, penting dicatat bahwa selama periode
Kekhalifahan Andalusia, umat Islam di Spanyol dan Afrika Utara telah
membuat banyak perjalanan ke luar negeri. Hal ini sangat mungkin bahwa
banyak dari mereka sebenarnya bepergian menuju Amerika.
Benteng Islam terakhir di Spanyol, Granada, jatuh sebelum terjadinya
Inkuisisi Spanyol yang didirikan pada tahun 1492. Inkuisisi itu, yang
memaksa banyak orang non-Kristen untuk pindah agama menjadi Katolik atau
menghadapi pengasingan sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan
diri dari tindakan kejam. Selama periode ini, pada tahun 1539 suatu
titah Raja Spanyol Charles V, dipraktekkan menjadi kenyataan yakni titah
yang melarang imigrasi kaum Muslim ke pemukiman di Barat, perintah ini
kemudian diperluas dengan mengusir semua Muslim dari luar negeri di
Koloni Spanyol tahun 1543. Semua ini, ditambah dengan bukti-bukti lain
menunjukkan kehadiran kaum Muslim di Spanyol yang berbahasa Spanyol
Amerika sebelum tahun 1550.
Meskipun kaum Muslim menderita kerugian teritorial di Spanyol,
kehadiran mereka di wilayah-wilayah seperti Amerika, rupanya tidak
diperkuat. Namun di jantung peradaban Islam, Khilafah terus menjadi
mercusuar yang merupakan peradaban yang kaya dan dihormati. Otoritas
politik kekhalifahan mendominasi koridor-koridor kekuatan dari
wilayah-wilayah yang kemudian menjadi penting di arena internasional.
Lebih dari dua abad kemudian, kekuasaan politik Kekhalifahan, masih
kuat berdiri. Pada tahun 1783, Amerika mengerahkan kapal-kapal pertama
angkatan lautnya, yang mulai berlayar di perairan internasional. Dalam
waktu dua tahun, kapal-kapal itu ditangkap oleh angkatan laut
Kekhalifahan Utsmani, dekat Aljazair. Hal ini penting untuk dicatat,
bahwa Angkatan Laut Kekhalifahan itu berasal dari wilayah yang termasuk
governorat Afrika Utara dari Aljazair, Tunisia, dan Tripoli, yang berada
di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. Sebagai perbandingan
mencolok, wilayah ini pada hari ini, adalah wilayah terbaru dari front
perang yang dibuka oleh Amerika dan NATO yang mengincar lokasi yang
strategis dan cadangan minyak, meskipun tujuan itu disamarkan dengan
dalih mendukung pemberontakan yang sah dalam melawan diktator Gaddafi.
Penangkapan kapal-kapal Amerika, membawa Amerika ke dalam konflik
langsung, dan karenanya hubungan tingkat negara dengan negara Khilafah
menjadi perlu.
Pada tahun 1786 Thomas Jefferson, yang kemudian menjadi Duta Besar
Amerika untuk Prancis, dan John Adams, yang kemudian menjadi Duta Besar
Amerika untuk Inggris, bertemu di London dengan Sidi Haji Abdul Rahman
Adja, Duta Besar Khilafah untuk Inggris, dalam rangka untuk
menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian, yang akan didasarkan pada
pendanaan dari pemungutan suara di Kongres. Ini mungkin merupakan kontak
tingkat tinggi pertama antara pejabat tinggi Amerika dan Khilafah.
Setelah pertemuan itu, kedua orang yang merupakan Presiden Amerika
masa depan, melaporkan kepada Kongres AS, dan memberikan informasi
mengenai alasan permusuhan umat Islam terhadap Amerika dengan kata-kata
ini: “… bahwa (kekhalifahan) didirikan berdasarkan Hukum Nabi
mereka, bahwa hal itu ditulis dalam Al-Qur’an mereka, bahwa semua negara
yang tidak mengakui otoritas mereka adalah negara
yang berdosa, bahwa adalah hak dan kewajiban mereka untuk berperang
terhadap negara-negara itu di mana saja mereka bisa ditemukan … dan
bahwa setiap Musselman (Muslim) yang terbunuh dalam peperangan pasti
akan masuk surga.” Kesan pertama dari umat Islam, yang bersatu di
bawah naungan Khilafah, pada para duta besar Amerika adalah sangat
berlawanan dengan realitas pada saat ini, dimana para penguasa
negeri-negeri Muslim bersaing untuk dihargai oleh para duta besar
Amerika. Dan seperti yang diungkapkan Wikileaks para penguasa yang
memalukan itu mencari dan meminta semua jenis bantuan, dan kemudian
berterima kasih kepada para duta besar mereka atas bantuan dalam
mencapai jenjang kekuasaan. Selain itu, mereka melaporkan persaingan di
dalam negeri mereka kepada para dubes itu, dan mencari bantuan untuk
mengatasi satu sama lain.
Dalam hal status quo, kaum muslimin di bawah kekhalifahan sangat
berbeda dengan realitas pada hari ini. Pada tahun 1793, Amerika sekali
lagi memasuki wilayah perairan yang didominasi oleh Khilafah, dan kali
ini 12 kapal Angkatan Laut Amerika ditangkap. Untuk menanggapi hal ini,
Kongres Amerika memberikan mandat pada Presiden Washington, pada bulan
Maret 1794 untuk membelanjakan hingga 700.000 koin emas dengan tujuan
membangun kapal-kapal untuk armada angkatan laut yang kuat yang terbuat
dari baja. Namun, armada ini hilang lagi dalam konfrontasi dengan
Angkatan Laut Khilafah itu.
Sejak itu Amerika telah menyadari mereka berhadapan dengan kekuatan
negara adidaya : Khilafah. Setahun kemudian Amerika Serikat
menandatangani Perjanjian Barbary dengan negara Khilafah. Kata Barbary
merujuk pada governorat Afrika Utara untuk wilayah Aljazair, Tunisia,
dan Tripoli, yang berada di bawah pemerintahan Khilafah Utsmaniyah.
Ketentuan dalam Perjanjian Barbery itu mewajibkan Amerika untuk
membayar sejumlah besar uang kepada Khilafah sebagai imbalan izin untuk
berlayar di Samudra Atlantik dan Laut Mediterania dan mengembalikan
kapal-kapal yang ditangkap, mulai dengan pembayaran dengan methode one off payment
yang bernilai $ 992.463. Sebagai imbalannya, Pemerintah Amerika harus
membayar lagi $ 642.000 yang setara dengan emas. Selain itu, Amerika
setuju untuk membayar pajak tahunan (upeti) senilai $ 12 000 dalam
bentuk emas. Sangat menarik untuk dicatat, bahwa Khilafah lebih lanjut
menegaskan supremasi diplomatiknya, dengan mewajibkan Amerika untuk
membayar upeti tahunan, menurut kalender Islam dan bukan menurut
kalender Kristen. Selanjutnya, sebagai tebusan untuk tentara Amerika
yang ditangkap, Amerika harus membayar $ 585.000 dibayar. Selain dari
upeti yang bernilai sangat besar ini, Amerika setuju untuk membangun dan
memberikan dengan biaya sendiri armada kapal baja bagi Khilafah. Karena
kapal-kapal ini terbuat dari baja, dan biaya untuk tiang-tiangnya, dan
papan-papan yang berat, sangat besar dan bahan-bahannya sulit untuk
didapatkan, dan ditambah dengan biaya transportasi yang besar, yang
pernah diberikan Amerika sebenarnya negara itu telah membayar tiga puluh
kali lipat perkiraan harga dalam perjanjian itu.
Perjanjian ini kemudian sesuai dengan status quo kekuasaan yang
ditulis dalam bahasa negara Khilafah, yaitu bahasa Turki dan
ditandatangani oleh Presiden Washington. Perjanjian itu merupakan
satu-satunya dokumen hukum Amerika yang pernah dibuat dalam bahasa
asing, dan yang menarik adalah ini merupakan satu-satunya perjanjian
yang pernah ditanda tangani Amerika yang menyetujui untuk membayar pajak
tahunan kepada bangsa lain. Perjanjian itu tetap berlaku, sampai
Khilafah runtuh.
Pada tahun 1862, perjanjian penting yang lain ditandatangani. Abraham
Lincoln menandatangani Perjanjian Perdagangan dan Navigasi dengan
Khilafah Utsmaniyah. Perjanjian itu berkaitan dengan masalah perniagaan,
perdagangan dan navigasi. Hal yang menarik tentang perjanjian ini
adalah di dalamnya ada klausul yang menunjukkan bagaimana Amerika dengan
panjang lebar mengatakan bahwa negara itu bukanlah negara yang memusuhi
dengan cara apapun bagi Khilafah. Pasal 11 perjanjian itu menyebutkan: “Karena
Pemerintah Amerika Serikat tidak, dalam arti apapun, didirikan
berdasarkan agama Kristen, karena tidak memiliki karakter bermusuhan
dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal yang dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, sehingga tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara .“
Ketika baru menjabat di kantor pemerintahan, pada tahun 1876, Sultan
berpartisipasi dalam seratus tahun kemerdekaan Amerika, dengan
mengirimkan koleksi besar buku-buku Utsmani untuk dipamerkan di
Philadelphia, buku-buku itu kemudian disumbangkan kepada Universitas New
York.
Pada masa Sultan Abdul Hamid II (1876-1909), meskipun Khilafah telah
menjadi lemah secara signifikan dikarenakan kondisi masa lalu, negara
itu masih menjaga pengaruhnya pada politik internasional, dan dikenal
sebagai kekuatan terkemuka, dalam bidang budaya, politik maupun militer.
Khalifah Abdul Hamid II terkenal karena penolakannya untuk menjual
tanah Palestina kepada Zionis dan dihormati tidak hanya oleh kalangan
muslim tetapi juga oleh kalangan non-Muslim.
Pada tahun 1893, saat menandai ulang tahun ke-empat ratus penemuan
benua Amerika, Khalifah Abdul Hamid adalah kepala negara asing pertama
untuk menerima undangan untuk menghadiri Columbian Exposition yang
diadakan di Chicago. Khalifah tidak hadir, namun sekitar seribu orang
dari Yerusalem mengunjungi pameran itu.
Di Chicago, sekitar tahun yang sama, pada acara acara pengukuhan
Parlemen Agama-Agama Dunia (World Parliament of Religions), delegasi
kekhalifahan memamerkan koleksi besar barang-barang Khilafah Utsmani dan
juga membangun sebuah masjid kecil.
Abdul Hamid, dalam masa jabatannya pernah bertanya kepada duta besar
Amerika di Istanbul, Samuel Sullivan Cox dan penyelenggara Sensus
Amerika modern, untuk memperkenalkan perkembangan ilmu statistik kepada
umat Islam.
Menariknya, pada saat salah seorang diplomat Amerika A.M. Keiley
dinyatakan persona non grata oleh pemerintah Austro-Hungaria hanya
karena “keturunan Yahudi”, Duta Besar Amerika Oscar S. Straus (seorang
diplomat Yahudi) disambut oleh Khilafah.
Khilafah juga memiliki jangkauan dan pengaruh atas kaum Muslim yang
tinggal di luar wilayahnya, di daerah yang jauh terpencil. Pada musim
semi tahun 1899, Amerika meminta bantuan dari kekhalifahan, dalam
ekspedisi melawan wilayah Filipina yang dikontrol oleh Spanyol.
Sekretaris Negara Amerika John Hay menulis kepada Oscar S. Straus, dan
bertanya apakah “Sultan dalam situasi yang mungkin dibujuk untuk
memerintahkan orang-orang Islam dari Filipina, yang selalu menolak
Spanyol, untuk datang dengan sukarela agar bisa berada di bawah kendali
kami.” Straus kemudian secara resmi mengunjungi khalifah dan merujuk
kepada perjanjian sebelumnya. Pasal 21 perjanjian antara Tripoli dan
Amerika Serikat berbunyi: “Karena Pemerintah Amerika Serikat tidak,
dalam arti apapun, didirikan berdasarkan agama Kristen, karena tidak
memiliki karakter bermusuhan dengan hukum, agama, atau ketenangan, dari
Mussulmen (Muslim), dan, negara Amerika yang disebut dalam perjanjian ini tidak pernah terlibat dalam setiap perang, atau melakukan tindakan permusuhan terhadap bangsa yang beragama Islam, hal dinyatakan oleh para pihak dalam perjanjian, bahwa tidak ada alasan yang timbul dari pendapat keagamaan, yang akan menghasilkan gangguan keharmonisan diantara kedua negara.“
Dalam perjanjian itu, Abdul Hamid menjelaskan posisinya tentang
masalah Filipina, dengan mengatakan bahwa “orang-orang Islam yang
bersangkutan mengakuinya sebagai Khalifah kaum Muslim dan dia merasa
yakin mereka akan mengikuti sarannya.”. Setelah instruksi ini, Duta
Besar Staus menulis: “Orang Islam Sulu …menolak untuk bergabung dengan
para pemberontak dan telah menempatkan diri di bawah kendali tentara
kita, dengan demikian mengakui kedaulatan Amerika.”
Letnan Kolonel John P. Finley (yang menjabat Gubernur Amerika untuk
Provinsi Zamboanga di Filipina selama sepuluh tahun) menulis sebuah
artikel yang diterbitkan dalam edisi April 1915 pada Journal of Race
Development yang menyoroti peristiwa ini. Finley menulis: “Pada awal perang dengan Spanyol, Pemerintah Amerika Serikat tidak menyadari keberadaan setiap orang Islam di Filipina. Ketika fakta ini ditemukan dan disampaikan kepada Duta Besar kami di Turki, Oscar S. Straus, dari New York, dia kemudian melihat kemungkinan yang terbentang di depan kita sebagai jihad (perang suci)…. Dia kemudian membicarakannya dengan Sultan Abdul Hamid, dan memintanya sebagai Khalifah dalam agama Islam untuk bertindak atas nama para pengikut Islam di Filipina…. Sultan sebagai Khalifah mengirimkan pesan untuk dikirim kepada orang-orang Islam di Kepulauan Filipina yang melarang mereka untuk masuk ke dalam setiap permusuhan terhadap Amerika, karena gangguan atas agama mereka tidak dibenarkan di bawah kekuasaan Amerika. “
Setelah konflik usai, Presiden McKinley mengirim surat pribadi yang
mengucapkan terima kasih kepada Duta Besar Straus karena bekerja dengan
sangat bagus, menyatakan bahwa ia telah menyelamatkan Amerika Serikat
“setidaknya dua puluh ribu tentara dari medan pertempuran.” Semua ini
telah dimungkinkan, karena posisi politik Khalifah, Abdul Hamid II.
Sejarah interaksi kekhalifahan dengan Amerika, mengungkapkan banyak
informasi tentang status global kaum Muslim yang dihargai. Pada hari
ini, situasi Internasional menjadi bertentangan dengan masa lalu yang
merupakan masa keagungan umat Islam.
Namun, pada saat penghapusan kekhalifahan pada tahun 1924, Amerika
dengan cepat menyambut gerakan itu, dan bersekutu dengan Mustafa Kemal,
dalam upaya untuk menciptakan sebuah negara bangsa Turki yang sekuler.
Pada tahun 1938, Duta Besar Amerika Joseph Clark berdiri dengan Mustafa Kemal dan menyatakan “Nama Mustafa Kamal akan selamanya dikaitkan dengan pembangunan, pendiri Turki, negara Turki baru yang modern, dan selamanya akan tertulis dengan tidak terhapuskan pada perjalanan sejarah”.
Mustafa Kamal menambahkan: “Bangsa Turki adalah bangsa yang
demokratis secara alami, saya tidak meragukan bahwa bangsa Amerika yang
telah begitu jauh terlibat dalam hal yang ideal ini, yang merupakan
kerabat negara Turki dalam mencapai tujuannya.” Kamal yang sekuler,
menyimpulkan aliansi baru itu dengan mengatakan: “ini bisa mengarah
kepada dunia yang penuh cinta dengan menghapus semua prasangka lama dan
semua negara berada dalam kedamaian dan kemakmuran”
Rantai peristiwa yang menyertainya secara diametris berlawanan dengan
apa yang Kamal nyatakan dengan liciknya. Dunia Muslim melihat
penjarahan sumber daya alamnya, negerinya dikerat-kerat, dan sejak itu
penindasan di tangan para diktator terjadi dengan seterusnya selama
beberapa dekade. Selain itu, banyak negara-bangsa yang keluar dari
naungan khalifah, dan akhirnya selama bertahun-tahun menghadapi
intervensi militer langsung oleh Amerika. Somalia, Sudan, Afghanistan,
Pakistan, Irak, Libya dan Yaman adalah diantara negara-negara bangsa
yang menderita hebat akibat intervensi negara-negara imperialis.
Dengan penghapusan kekhalifahan, pada hampir satu abad lalu,
interaksi antara Amerika dan Khilafah telah terkubur, dan dunia Muslim
kewalahan menghadapi banyaknya masalah.
Pada hari ini, status quo saat ini berada di ambang suatu tantangan
besar baru. Ketika merasakan tantangan ini, kaum imperialis, yang
dipelopori oleh Amerika, mulai mengganggu dan membongkar perkembangan
dari tantangan ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Barat telah berusaha
untuk mendiskreditkan ide Kekhalifahan. Fitnah yang berulang atas ide
sebuah negara super Islam yang bersatu dapat diamati dari
pernyataan-pernyataan para politisi kunci dan para pembuat opini di
Barat.
Dalam kata-kata mantan presiden Bush “Khilafah ini akan menjadi Imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri-negeri muslim saat ini dan yang dulunya adalah negeri-negeri Muslim, yang membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara.”.
Dalam bulan November 2004 Henry Kissinger dalam sebuah wawancara, mengungkapkan pandangannya dengan menyatakan: “… apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekuler, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan “. Yang
menarik, pada tahun yang sama (Desember 2004) dikeluarkan laporan
setebal 123-halaman yang berjudul “Mapping the Global Future” oleh
National Intelligence Council (NIC) dari CIA. Laporan itu mencakup
antara lain skenario, kemungkinan terbentuknya suatu “Kekhalifahan Baru”
tahun 2020. Laporan tersebut, ditujukan “untuk mempersiapkan
pemerintahan Bush bagi tantangan-tantangan masa depan, dan telah
disampaikan kepada Presiden AS, para anggota Kongres, para anggota
kabinet dan para pejabat kunci yang terlibat dalam pembuatan kebijakan”
Selain menarik perhatian para politisi dan pembuat opini kunci,
ancaman Khilafah juga telah disorot pada September 2005 oleh Angkatan
Darat AS Jenderal John Abizaid, (Kepala Komando Pusat AS) dan juga oleh
Jenderal Richard Myers (Ketua Kepala Staf Gabungan).
Pada tahun 2007, Gubernur Amerika Mitt Romney mengatakan: “Bagi Islam
radikal, terdapat konflik dan tujuan menyeluruh – yang menggantikan
semua negara-negara Islam modern dengan sebuah Kekhalifahan, dengan
menghancurkan Amerika, dan menaklukkan dunia.”
Pada tahun ini, pada tahun 2011, dengan munculnya pemberontakan di
Timur Tengah, Media Barat telah gembira dan aktif dengan menggambarkan
bahwa rakyat Arab memandang ke depan menuju demokrasi. Namun, Profesor
di Harvard, Niall Ferguson dalam sebuah wawancara dengan The Telegraph,
memperingatkan bahwa menjelang tahun 2021 hanya ada “kemungkinan kecil
kita mendapatkan demokrasi gaya Barat di Timur Tengah”. Dia menambahkan
bahwa “Lebih mengkhawatirkan ketika berpikir tentang “kebangkitan
kembali Kekhalifahan “.
Prediksi Profesor Niall itu tampaknya masuk akal, dan gagasan
munculnya sebuah Kekhalifahan diperkuat oleh banyak jajak pendapat
(misalnya oleh World Public Opinion, Pew Global dll) yang dilakukan di
dunia Muslim, yang menunjukkan aspirasi umat Islam untuk hidup di bawah
Hukum Islam, dan negara yang bersatu.
Di antara banyak pernyataan oleh para tokoh terkemuka di Amerika adalah
pernyataan Donald Rumsfeld yang menyatakan pada bulan Februari 2011:
“Kami menghadapi musuh yang kejam, para Islamis radikal ada di sana,
mereka berniat untuk mencoba untuk mendirikan Khilafah di dunia ini dan
secara fundamental mengubah sifat negara bangsa “. Rumsfeld mengakui
bahwa “kita enggan untuk terlibat dalam perang pemikiran”
Hari ini, di saat orang-orang yang berada di koridor kekuasaan di
Barat sedang berusaha untuk memfitnah ide kekhalifahan, dan menciptakan
narasi negatif tentang hal itu, sangat penting untuk disadari, bahwa
sejarah adalah kesaksian dari sosok dan kecakapan kekhalifahan sehingga
membantah jika ada narasi yang menjelek-jelekannya. Benar bahwa
kekhalifahan, setelah terbentuk akan berusaha untuk menyatukan
negara-negara Muslim, tapi adalah salah untuk meremehkannya sebagai
negara yang regresif atau anti-modern. Ketika Kekhalifahan didirikan, ia
akan menggabungkan dunia Muslim, dan dengan cepat memanfaatkan segala
sumber daya untuk pengembangan infrastruktur, dan industri pertanian.
Munculnya negara Islam yang canggih ini juga akan berusaha
mempensiunkan posisi strategis negara imperialis Amerika dari panggung
internasional secara umum dan wilayah-wilayah Muslim pada khususnya.
Namun, ini tidak berarti bahwa Khilafah akan terlibat untuk melakukan
demonisasi atas warga negara berdasarkan ras, budaya, atau sejarahnya.
Sejarah menunjukkan menunjukkan informasi yang luas tentang kemurahan
hati kekhalifahan, terhadap bangsa-bangsa lain yang mencari bantuan.
Juga, sebuah evaluasi ulang dari sejarah Amerika situ sendiri
menjelaskan ke dalam budaya progresif dan kaya bahwa para penjelajah
dari Khilafah sampai ke negerinya.
Pada hari, adalah ironis bagaimana mungkin sebagian orang di Barat
mencoba untuk mencoreng citra kekhalifahan sebagai entitas penuh dengan
kekerasan, sementara pada saat yang sama mengekspor demokrasi dan
memuliakannya melalui invasi terang-terangan.
Tahun ini, di satu sisi ada negara-negara kapitalis Barat yang secara
internal tersentak oleh pergolakan ekonomi dan terbelenggu dengan
peperangan di luar negeri, dan di sisi lain ada kaum muslim yang berani
melawan penindasan para tiran, hingga menyebabkan jatuhnya diktator satu
demi satu. Dalam skenario seperti ini realisasi Kekhalifahan, semakin
semakin dekat. (translated by riza)
Sharique Naeem adalah seorang insinyur otomatisasi, dan seorang komentator politik, dan penulis. Tulisan-tulisannya telah diterbitkan di surat-surat kabar nasional Pakistan, Bangladesh, India, Yaman & Iran. Dia dapat dihubungi di atshariq_n@hotmail.com
Referensi:
[1] Donald Rumsfeld http://www.rushlimbaugh.com/home/daily/site_020811/content/01125106.guest.html
[2] Governor Romney (Elected in 2002 as the 70th Governor of the
Commonwealth of Massachusetts, ) (Governor Mitt Romney, Remarks At The
George Herbert Walker Bush Presidential Library, 4/10/2007)
[3] Niall Ferguson http://www.telegraph.co.uk/finance/financevideo/8367183/Niall-Ferguson-In-2021-well-be-amazed-how-much-the-world-has-changed.html
[4] Treaty of tripoli http://www.stephenjaygould.org/ctrl/treaty_tripoli.html
[5] John Adams http://www.islam-watch.org/ThomasJefferson/Founding_Fathers_Fight_Islam.htm
[6] NIC Report: http://www.cia.gov/nic/NIC_globaltrend2020_s3.html#scen
[7] Henry Kissinger: http://nobelprize.org/peace/laureates/1973/kissinger-bio.html
[8] Bukti-bukti Arkeologi http://www.fountainmagazine.com/article.php?ARTICLEID=823
[9] Barbery Treaty http://avalon.law.yale.edu/18th_century/bar1795n.asp
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.id/2011/09/03/amerika-dan-khilafah-masa-lalu-masa-kini/ http://hizbut-tahrir.or.id/2011/09/03/amerika-dan-khilafah-masa-lalu-masa-kini/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar